About Me
- Unknown
Blog Archive
Diberdayakan oleh Blogger.
You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "
Translate
music
Waktu
Blog Archive
kalender
Jumat, 22 Mei 2015
CABANG-CABANG KAIDAH AL-DHARARU YUZALU
CABANG-CABANG KAIDAH AL-DHARARU YUZALU
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ushul fiqh merupakan ilmu yang membahas tentang dasar hukum islam. Dalam ushul figh terdapat kaidah-kaidah fiqhiyah salah satunya kaidah Al-dharar yuzalu. Kaidah ini juga mempunyai cabang-cabang, Namun kebanyakan orang bahkan mahasiswa belum tahu tentang cabang-cabang dari kaidah ini. Oleh karena itu pemakalah menyusun makalah ini dengan tema cabang-cabang Al-dharara yuzalu.
Kaidah asasiyyah أَلضَّرَرُيُزَالُ yaitu kaidah yang membahas tentang kemudaratan itu memang harus dilihangkan, terlebih dalam kondisi darurat, maka yang diharamkan pun boleh dilakukan. Yang mana maksud dari keadaan darurat itu bisa berakibat fatal bila mana tidak diatasi dengan cara-cara seperti itu. Oleh karena itu hukum Islam membolehkan untuk meninggalkan ketentuan-ketentuan wajib bila mana sudah dalam keadaan yang sangat darurat.
أَلضَّرَرُيُزَالُ memiliki 8 cabang yaitu اَلضَّرُورَات تُبِيْعُ الْمَحْظُوْرَاتِ (1, اَلضُّرُوْرَاتُ تُقَدَّ رُبِقدَرِهاَ مَاأُبِيحَ (2, مَاجَازَ لِعُذْرٍ بَطَلَ بِزَوَالِهِ (3, اَلضَّرَرُ لاَيُزَلاَ يُزَالُ باَلضَّرَرِ (4, إِذَاتَعَارَضَ مَفْسَدَتاَنِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَاضَرَرًاباِرْتِكاَبِ أَخَفِّهِماَ (5, دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ (6, فَإِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَةٌ وَمَصْلَحَةٌ قَدِّمَ دَفْعُ الْمَفْسَدَةِ غَالِبًا (7, اَلْحاَجَةُ تُنَزَّ لُمَنْزِلَةَ الضُّرُوْرَةِ عَامَّةًكَانَتْ أَوْخَاصَّةً (8, Semoga makalah ini dapat memberi manfaat terutama bagi pemakalah dan mahasiswa pada umumnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kaidah Al-dhararu yuzalu ?
2. Apa saja cabang-cabang kaidah Al-dhararu yuzalu ?
3. Apa saja dasar dalil kaidah cabang Al-dhararu yuzalu ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian kaidah
اَلضَّرَرُ يُزَالُ
“Kemudaratan itu harus dihilangkan”
Maksudnya ialah jika sesuatu itu dianggap sedang atau akan bahkan memang menimbulkan kemadaratan, maka keberadaannya wajib dihilangkan. Sekalipun demikian, kemadaratan itu tidak boleh dihilangkan dengan kemadaratan yang lain, sebagaimana yang disabdakan Nabi SAW:
لاَضَرَرَ وَلاَضِرَارَ
Artinya : “Tidak diperbolehkan membuat kemadharatan pada diri sendiri dan kemadharatan pada orang lain”.
Kaidah ini terkonkretisasi menjadi hukum fiqih yang bersifat particular, diantaranya bentuk-bentuk khiyar dalam transaksi jual beli, pembatasan wewenang (al hijr), hak syuf’ah oleh partner bisnis, tetangga, takzir, hudud, dan pembatasan manusia dalam masalah kepemilikan atau pemanfaatannya agar tidak menimbulkan bahaya bagi orang lain.
B. Kaidah yang merupakan cabang dari kaidah “al-dhararu yuzalu”, antara lain :
1. الضَّروْرَاتُ تُبِيْحُ المَخْظُوْرَاتِ
Artinya : “Kemudharatan itu membolehkan hal-hal yang dilarang”
Dasar dari kaidah ini ialah Firman Allah Swt:
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (173)
Artinya : “Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS: Al-Baqarah Ayat:173)
Jadi dari kaidah ini dapat disimpulkan, bahwa dalam keadaan (sangat) terpaksa, maka orang diizinkan melakukan perbuatan yang dalam keadaan biasa terlarang, karena apabila tidak demikian, mungkin akan menimbulkan suatu kemadhorotan pada dirinya.
Contoh: kasus kelaparan dan ia sedang menemukan makanan bangkai, jika tidak dimakan ia akan mati, maka baginya boleh memakannya.
2. مَاأُبِيحَ لِلضَّرُرَاتِ يُقَدَّرُ بِقَدَارِهَا
Artinya :“Sesuatu yang diperbolehkan karena kondisi dlarurot harus disesuaikan menurut batasan yang ukuran yang dibutuhkan dlorurot tersebut.”
Maksudnya sesuatu yang asalnya dilarang, lalu diperbolehkan lantaran keadaan yang memaksa (dlorurot), harus disesuaikan dengan kadar ukuran dlorurot yang sedang dideritanya, dan tidak boleh dinikmati sepuas-puasnya atau seenaknya saja, sebab kaidah ini memberikan batasan pada kemutlakan kaidah الضَّروْرَاتُ تُبِيْحُ المَخْظُوْرَاتِ. dimana kebolehan yang tekandung didalamnya hanya sekedar untuk menghilangkan kemadharatan yang sedang menimpa. Jadi yang membolehkan seseorang menempuh jalan yang mulanya haram tersebut karena kondisi yang memaksa (dhorurot). Manakala keadaannya tersebut sudah normal, maka hukum tersebut akan kembali menurut statusnya. Oleh sebab itu ajaran syara’ disini memberi batas didalam mempergunakan kemudahan karena darurat itu, dan menurut ukuran daruratnya ini semata-mata untuk melepaskan diri dari bahaya.
Contoh: Orang yang haus sekali dan tidak ada minuman kecuali khamr (minuman keras), maka baginya boleh meminumnya, tetapi hanya sekedar untuk mempertahankan hidupnya yang sedang terancam lantaran kehausan. Akan tetapi jika hausnya telah hilang, maka hukumnya kembali pada asal, yaitu haram.
ماَ جَازَ لِعُذْرٍ بَطَلَ بِزَوَالِهِ3.
Artinya : segala sesuatu yang kebolehannya karena adanya alasan kuat (uzur), maka hilangnya kebolehan itu disebabkan oleh hilangnya alasan.
Maksudnya ialah jika kemadharatan atau keadaan yang memaksa tersebut sudah hilang maka hukum kebolehan yang berdasar kemadharatan menjadi hilang juga. Artinya perbuatan boleh kembali keasal semula yakni terlarang. Seperti orang kelaparan yang tidak menemukan makanan kecuali bangkai, maka baginya boleh memakannya.
Dari adanya penjelasan panjang lebar tentang kasus-kasus seperti diatas dapat diambil pemahaman bahwa ketika kebolehan melakukan hal-hal karena adanya alas an yang bias diterima oleh syara’, jika alas an tersebut sudah tidak ada maka kebolehan tersebut kembali kepada semula, yaitu tidak boleh atau perbuatannya tidak sah atau haram. Misalnya : kasus orang bertayammum karena tidak ada air sebagai alasannya. Umpama ketika ia akan melaksanakan sholat. Ia melihat air atau menyangka ada air, maka status tayamumnya batal.
الضَّرَرُ لاَيُزَالُ بِالضَرَارِ4.
Artinya :“Kemudharatan itu tidak bisa dihilangkan dengan kemudharatan yang lain.”
Kaidah ini semakna dengan kaidah الضَّرَرُ لايُزَالُ بِمِثْلِهArtinya : “Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan yang sebanding.” Maksud kaidah ini adalah kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan cara melakukan kemudharatan lain yang sebanding keadaannya.
Contohnya:
a. Kasus hukum tidak bolehnya seorang dokter mengobati pasien yang memerlukan tambahan darah dengan cara mengambil darah pasien lain, dimana jika dari pasien tersebut diambil darahnya, penyakitnya akan bertambah parah.
b. Tidak ada kewajiban seseorang merobohkan sendiri tembok pagarnya yang mereng yang bias mencelakai orang yang lewat jika hal itu akan membahayakan dirinya sendiri. Makanya bahaya tidak dapat dihilangkan jika harus menimbulkan bahaya baru.
إِذَاتَعَارَضَ مَفْسَدَتاَنِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَاضَرَرًاباِرْتِكاَبِ أَخَفِّهِماَ5.
Artinya : “Jika ada dua bahaya berkumpul, maka yang dihindari adalah bahaya yang lebih besar dengan mengerjakan yang bahayanya lebih ringan.”
Maksud ialah jika ditemukan adanya pertentangan antara dua macam madlarat, maka yang harus diperhatikan adalah mana yang lebih besar bahayanya dengan melakukan yang lebih ringan.
Jadi, jika pada suatu saat terjadi secara bersamaan dua bahaya atau lebih, maka yang harus diteliti adalah mafsadah mana yang bobot nilainya lebih kecil dan lebih ringan efek sampingnya, sehingga yang lebih besar ditinggalkan dan yang lebih ringan dikerjakan.
Contohnya:
a. Membedah perut wanita yang sedang hamil, jika masih ada harapan bayi yang ada di dalamnya hidup, maka hukum membedah adalah boleh.
b. Boleh hukumnya orang tetap berdiam diri melihat adanya suatu kemungkaran, karena jika ia melakukan larangan (bertindak) akan membawa bencana pada dirinya sendiri.
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ .6
Artinya : mencegah bahaya itu lebih utama daripada menarik datangnya kebaikan.
Maksudnya ketika dalam realitas ditemukan adanya bahaya dan kebaikan berkumpul dalam satu kasus, maka yang harus diprioritaskan lebih dahulu adalah menangkal bahaya dengan mengabaikan kebaikan. Artinya hal-hal yang dilarang dan membahayakan itu lebih utama ditangkal daripada berusaha meraih kebaikan dengan cara menjalankan perintah keagamaan, sementara disisi lain dibiarkan terjadinya kerusakan.
Contohnya : kasus hukum diperbolehkannya meninggalkan shalat jum’at atau shalat jamaah karena adanya faktor sakit.
فَإِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَةٌ وَمَصْلَحَةٌ قَدِّمَ دَفْعُ الْمَفْسَدَةِ غَالِبًا .7
Artinya: maka jika terjadi pertentangan antara factor menghilangkan mafsadah (kerusakan) dari satu pihak dengan factor mendatangkan kemaslahatan dipihak lain, maka prinsip menghilangkan mafsadah harus didahulukan dari faktor yang kedua.
Maksudnya jika dalam suatu perkara ditemukan adanya kemanfaatan dan kemadharatan, maka yang harus didahulukan adalah menghilangkan mafsadah karena akan dapat meluas dan menjalar kemana-mana, sehingga akan berakibat terjadinya mafsadah atau kerusakan yang lebih besar lagi. Seperti status hokum diharamkannya berjudi, minuman keras karena keduanya ada maslahah dan mafsadah, tetapi efek samping yang lebih besar adalah mafsadah.
Kaidah ini secara tektual sama dengan kaidah diatas, namun dalam kaidah ini sangat menekankan pada penghilangan mufsadat daripada mendatangkan suatu kemaslahatan. Sebab mufsadah dapat cepat menyebar kalau tidak segera diatasi.
الحَاجَةُ تَنْزِيْلَ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرِةِ عَامَةً كَانَتْ اَوْ خَاصَّةً .8
Artinya: “Kebutuhan itu terkadang disetarakan dengan kondisi darurat, baik kebutuhan umum atau khusus.”
Maksudnya ialah kebutuhan terkadang menempati posisi kemadlaratan, baik secara umum maupun khusus, yakni dalam artian hajat (kebutuhan) yang dalam kondisi tertentu bisa menjadi salah satu hal yang pada awalnya dilarang, kemudian berubah menjadi suatu hal yang diperbolehkan untuk dikerjakan.
Contohnya:
a. Pemerintah yang memiliki rencana akan melakukan pelebaran jalan demi mengurangi kecelakaan lalu lintas dikarenakan sudah sangat ramai, maka dari itu pemerintah berencana akan membongkar sebagian rumah warga. Dalam hal ini hal tersebut dibolehkan karena demi kepentingan orang banyak.
b. Kasus satatus hukum kebolehan melakukan transaksi jual-beli dengan cara “pesanan/ salam”. Hal ini pada dasarnya tidak sah, sebab barang yang akan dibeli sebagai objeknya tidak atau belum terwujud. Tetapi mengingat demi kelancaran bisnis, maka cara ini diperbolehkan dan status hukum jual-beli seperti ini dianggap sah.
.
C. Dasar dalil kaidah
Ayat-ayat al-qur’an dan al-hadits yang mengandung kaidah tersebut antara lain :
وَلا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ وَلا تَتَّخِذُوا آيَاتِ اللَّهِ هُزُوًا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ بِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya : janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu Menganiaya mereka. (QS. Al-Baqarah : 231)
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى (6)
Artinya : dan janganlah kamu menyusahkan (memudharatkan) mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. (QS. Ath-Thalaaq : 6)
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلا وُسْعَهَا لا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلادَكُمْ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya : janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, (QS. Al-Baqarah : 233)
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya : Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. (QS. Al-Baqarah : 173)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya : Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. (QS. Al-Maaidah :105)
وَمَا لَكُمْ أَلا تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ وَإِنَّ كَثِيرًا لَيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِالْمُعْتَدِينَ
Artinya : Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. (QS. Al-An’am : 119)
Adapun hadits Nabi diantaranya :
حَرَّمَ اللهُ مِنَ المُؤ مِنِيْنَ دَمَهُ وَمَالَهُ وَعِرضَهُ وَاَنْ لايَظُنَّ الا الخَيْرَ
Artinya: “Allah mengharamkan dari orang mukmin, darahnya, hartanya dan kehormatannya, dan tidak menyangka kecuali dengan sangkaan yang baik.” (HR. Muslim)
اِنَّ دِمَاءَكُمْ وَاَمْوَالَكُمْ وَاعرَاضَكُم حَرَمٌ
Artinya : “sesungguhnya darah-darah kamu semua, harta-harta kamu semua, dan kehormatan kamu semua adalah haram diantara kamu semua.” (HR. Muslim)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kaidah asasiyyah أَلضَّرَرُيُزَالُ yaitu kaidah yang membahas tentang kemudaratan itu memang harus dilihangkan, terlebih dalam kondisi darurat, maka yang diharamkan pun boleh dilakukan. Yang mana maksud dari keadaan darurat itu bisa berakibat fatal bila mana tidak diatasi dengan cara-cara seperti itu. Oleh karena itu hukum Islam membolehkan untuk meninggalkan ketentuan-ketentuan wajib bila mana sudah dalam keadaan yang sangat darurat.
أَلضَّرَرُيُزَالُ memiliki 8 cabang yaitu اَلضَّرُورَات تُبِيْعُ الْمَحْظُوْرَاتِ (1, اَلضُّرُوْرَاتُ تُقَدَّ رُبِقدَرِهاَ مَاأُبِيحَ (2, مَاجَازَ لِعُذْرٍ بَطَلَ بِزَوَالِهِ (3, اَلضَّرَرُ لاَيُزَلاَ يُزَالُ باَلضَّرَرِ (4, إِذَاتَعَارَضَ مَفْسَدَتاَنِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَاضَرَرًاباِرْتِكاَبِ أَخَفِّهِماَ (5, دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ (6, فَإِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَةٌ وَمَصْلَحَةٌ قَدِّمَ دَفْعُ الْمَفْسَدَةِ غَالِبًا (7, اَلْحاَجَةُ تُنَزَّ لُمَنْزِلَةَ الضُّرُوْرَةِ عَامَّةًكَانَتْ أَوْخَاصَّةً (8.
Adapun dasar kaidah ini antara lain QS. Al-Baqarah : 231, QS. Ath-Thalaaq : 6, QS. Al-Baqarah : 233, QS. Al-Maaidah :105, QS. Al-An’am : 119, dan beberapa hadist riwayat muslim.
DAFTAR PUSTAKA
Azzam, Abdul Aziz Muhammad. Qowa’id Fiqhiyah. Jakarta: Bumi Aksara. 2009.
Dahlan, Abd. Rahman. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah, 2010.
Ma’shum Zein, Muhammad. Nadhom Al-Faroidul Bahiyyah. Jombang: Darul Hikmah, 2010.
Mujib, Abdul. Al Qowaidul Fiqhiyah . Jakarta: Kalam Mulia. 2001.
QS. Al-An’am : 119.
QS. Al-Baqarah : 173.
QS. Al-Baqarah : 231.
QS. Al-Baqarah : 233.
QS. Al-Maaidah :10.
QS. Ath-Thalaaq : 6.
Washil, Nashr Fard Muhammad. Qowa’id Fiqhiyyah. Jakarta: Amzah, 2009.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
sangat bermanfaat... terimakasih 😊
naruto belajar
Posting Komentar