Minggu, 07 Desember 2014

dasar-dasar pernikahan



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar belakang
Manusia  merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa manusia lainnya. Oleh karena itu manusia harus bersosialisasi dengan manusia lainnya agar dapat menjalani hidupnya dengan baik. Namun dalam sosialisasi tersebut manusia sering terjerumus dalam hal-hal yang diharamkan oleh allah seperti perzinaan. Dalam mencegah terjadinya perzinaan inilah islam menawarkan solusi yakni dengan pernikahan. Namun bagi sebagian orang masih belum mengerti tentang apa saja yang menjadi dasar-dasar dilakukannya pernikahan, Oleh karena itu pemakalah menyusun makalah dengan tema “Dasar-Dasar Pernikahan”. Dalam makalah ini akan kami jelaskan tentang pengertian pernikahan, macam-macam pernikahan, rukun pernikahan serta hikmah dan tujuan pernikahan.
Pernikahan merupakan suatu akad atau perjanjian yang mengandung arti tentang sahnya hubungan kelamin. Dalam pernikahan juga terdapat rukun-rukun yang harus dipenuhi seperti sighat akad nikah, adanya calon suami dan calon istri, adanya wali, dan dua orang saksi. Rukun merupakan syarat yang harus ada dalam pernikahan, jika salah satu rukun tidak ada maka pernikahannya batal atau tidak sah.  Pernikahan juga mempunyai banyak macam yaitu poligami, monogami, poliandri, nikah mut’ah, dll. Diantara macam-macam pernikahan itu ada yang dilarang dan ada yang dianjurkan. Nikah mut’ah merupakan salah satu nikah yang diharamkan karena tidak sesuai dengan tujuan pernikahan yang sesungguhnya.
 Pernikahan juga mempunya tujuan dan hikmah diantaranya jalan yang paling baik untuk menyalurkan naluri seks secara alami dan biologis. Dengan nikah badan menjadi tegar, jiwa menjadi tenang, mata dapat terpelihara dari melihat hal-hal yang maksiat, dan memiliki perasaan tenang menikmati hal-hal yang halal. Pernikahan juga bertujuan untuk meneruskan keturunan, Memperoleh kebahagiaan dan ketentraman, dan termasuk mengikuti sunnah nabi. Semoga makalah ini berguna bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
B.       Rumusan masalah
1.      Apakah  pengertian pernikahan itu ?
2.      Bagaimana Rukun pernikahan ?
3.      Apa saja Macam-macam pernikahan ?
4.      Bagaimana Hikmah dan tujuan diadakannya pernikahan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pernikahan
Kata nikah berasal dari bahasa arab nakaha yang juga merupakan sinonim dari kata tazwij yang berarti perkawinan. Menurut istilah ilmu fiqih, nikah berarti suatu akad yang mengandung kebolehan untuk melakukan hubungan seksual dengan memakai lafazh “nikah” atau “tazwij” yang berarti bersetubuh. [1]
 Secara terminologi Pernikahan Yaitu akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan makhram.  Menurut Anwar Harjono, pernikahan adalah suatu akad atau perjanjian yang mengandung arti tentang sahnya hubungan kelamin. Pernikahan juga berarti suatu perjanjian untuk melegalkan hubungan kelamin dan untuk melanjutkan keturunan.
Pada hakikatnya pernikahan adalah pertalian yang tuguh dan kuat dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami-istri dan keturunannya melainkan antara dua keluarga. Alangkah baiknya pergaulan antara suami dan istrinya itu saling kasih-mengasihi sehingga akan menciptakan kebaikan kehidupan dan mencegah segala kejahatan. Dalam haditsnya Rasulullah saw juga menjelaskan tentang perintah nikah yang artinya : “Hai pemuda-pemuda, barang siapa diantara kamu yang mampu serta berkeinginan hendak menikah, hendaklah ia menikah. Karena sesunggguhnya pernikahan itu dapat merundukkan pandangan mata terhadap orang yang tidak halal dilihatnya dan akan memelihara dari godaan syahwat. Lalu barang siapa yang tidak mau menikah, hendaklah ia berpuasa karena dengan puasa hawa nafsunya terhadap perempuan akan berkurang”. Selain itu Rasulullah saw juga menganjurkan untuk mengutamakan wanita yang shalihah sebagaimana haditsnya yang artinya: “dunia itu harta benda, dan sebaik-baik harta benda dunia adalah perempuan yang salehah”.
Pernikahan merupakan salah satu Sunnatullah yang umun berlaku pada semua makhluk Allah, baik manusia, hewan maupun tumbuhan. Allah menciptakan semua makhluk itu berpasang-pasang dan berjodoh-jodohan sebagaimana berlaku pada makhluknya yang paling sempurna yakni manusia yang dijelaskan dalam surat Adz-Dzariat ayat 49 :
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (49)
Artinya : “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasang supaya kamu mengingat akan kebesaran allah”.          
Manusia tidak seperti binatang yang bebas melakukan perkawinan sesuai keinginan nafsunya. bagi binatang perkawinan hanya semata-mata untuk memenuhi kebutuhan birahi dan nafsu syahwatnya, sedangkan bagi manusia perkawinan diatur oleh berbagai etika dan peraturan lainnya yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang beradab dan berakhlak. Tanpa pernikahan manusia tidak dapat melanjutkan sejarah hidupnya karena keturunan dan perkembangbiakan manusia disebabkan oleh adanya pernikahan. Jika pernikahan manusia tanpa didasarkan pada hukum Allah, maka peradaban manusia akan hancur oleh bentuk-bentuk perzinaan. Dengan demikian, manusia tidak ada bedanya dengan binatang yang tidak berakal dan hanya mementingkan hawa nafsunya saja.         
B.       Rukun Pernikahan
 Rukun merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan pernikahan, jia salah satu rukun tidak ada maka akadnya batal atau tidak sah. Berikut ini rukun-rukun dalam pernikahan, diantaranya :
1.    Sigat akad nikah
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya: “Saya nikahkan dan  saya kawinkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Al Qur’an”. Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya: “Saya terima nikah dan kawinnya anak bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Al Qur’an”. Sahnya suatu akad perkawinan disyaratkan beberapa syarat, diantaranya: [2]  
a.       Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul.
b.      Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda, seperti nama si perempuan secara lengkap dan bentuk mahar yang disebutkan.
c.       Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa terputus walaupun sesaat. Ulama Malikiyah memperbolehkan terlambatnya ucapan qabul dari ucapan ijab, bila keterlambatan itu hanya dalam waktu yang pendek.
d.      Ijab dan qabul tidak boleh dengan menggunakan ungkapan yang bersifat membatasi masa berlangsungnya perkawinan, karena perkawinan itu ditujukan untuk selama hidup.
e.       Ijab dan qabul mesti menggunakan lafadz yang jelas dan terus terang.
2.      Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan pernikahan
Sudah menjadi sunnatullah bahwa semua makhluk dijadikan oleh Allah SWT dimuka bumi dengan berpasang-pasangan termasuk manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia jelas membutuhkan teman hidup dalam masyarakat yang diawali dengan membentuk keluarga sebagai unsur masyarakat terkecil. Allah SWT berfirman :
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ ( الذاريا ت : 49 )
Artinya:
“Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.” (Q.S. Az-Zariyat: 49)
Untuk menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan, disyari’atkanlah pernikahan. Oleh karena itu, apabila seseorang telah mampu memberikan nafkah dan memenuhi beberapa syarat yang telah ditentukan, maka dianjurkan untuk menikah. Allah SWT berfirman [3]:
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ ... ( النساء : 3 )... 
Artinya:
“....maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi....”(Q.S. An-Nisa’: 3).
Adapun syarat-syarat yang mesti dipenuhi untuk calon suami dan istri yang akan menikah menurut Islam adalah sebagai berikut: [4]
(a)    Keduanya jelas identitasnya dan dapat di bedakan dengan yang lainnya, baik yang menyangkut nama, jenis kelamin, keberadaan, dan hal yang lain yang berkenaan dengan dirinya.
(b)   Keduanya sama-sama beragama Islam. Sementara bila nikah dengan beda agama antara laki-laki muslim dengan perempuan nonmuslim diperbolehkan, sedangkan jika laki-laki nonmuslim dengan perempuan muslimah hukumnya adalah haram, kecuali bila laki-laki tersebut telah masuk Islam.
(c)    Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan.
(d)   Kedua belah pihak telah setuju untuk kawin dan setuju pula dengan pihak yang akan mengawininya.
3.      Adanya wali
Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang akan menikahkannya. Keterangan ini dapat dilihat dalam sebuah hadis Nabi SAW yang berbunyi sebagai berikut[5]:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ( اخرجه الاربعة الاالنساء )
Artinya: “Barang siapa diantara perempuan menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya batal.” ( H.R. Empat ahli hadits, kecuali Nasa’i )
Sementara yang berhak menjadi wali itu ada tiga kelompok:
(a)    Wali nasab, yaitu wali berhubungan tali kekeluargaan dengan perempuan yang akan kawin.
(b)   Wali mut’ah, yaitu orang yang menjadi wali terhadap perempuan bekas hamba sahaya yang dimerdekakannya.
(c)    Wali hakim, yaitu orang yang menjadi wali dalam kedudukannya sebagai hakim atau penguasa.
Sedangkan syarat-syarat untuk bisa menjadi wali adalah sebagai berikut: (1) baligh/telah dewasa dan berakal sehat, (2) laki-laki, (3) muslim, (4) orang merdeka, (5) berpikiran baik dan adil, (6) tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umrah.[6]
4.      Adanya dua orang saksi
Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila ada dua orang yang menyaksikan akad nikah tersebut. Nabi Muhammad SAW bersabda: [7]
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وشاهدي عَدْلٍ ( رواه احمد )
Artinya: “Nikah itu tidak sah, melainkan dengan wali dan dua orang saksi.” ( H.R. Ahmad )
Saksi dalam pernikahan mesti memenuhi syarat-syarat sebagai berikut[8] :
a.       Saksi itu berjumlah paling kurang dua orang. Inilah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama. Bagi ulama Hanafiyah saksi itu boleh terdiri dari satu orang laki-laki dan dua orang perempuan, sedangkan bagi ulama Zhahiriyah boleh saksi itu terdiri dari empat orang perempuan.
b.      Kedua saksi itu adalah beragama Islam.
c.       Kedua saksi itu adalah orang yang merdeka.
d.      Kedua saksi itu adalah laki-laki. Sebagaimana disebutkan dalam syarat ulama Hanafiyah membolehkan saksi perempuan asalkan di antaranya ada saksi laki-laki, sedangkan ulama zhahiriyah membolehkan semuanya perempuan dengan pertimbangan dua orang perempuan sama kedudukannya dengan seorang laki-laki.
e.       Kedua saksi itu bersifat adil dalam arti tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak selalu melakukan dosa kecil. Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan adil pada saksi perkawinan.
f.       Kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat.
 Imam Malik berkata bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu: (1) wali dari pihak perempuan, (2) mahar (mas kawin), (3) calon pengantin pria, (4) calon pengantin perempuan, (5) Sigat akad nikah. Sedangkan Imam Syafi’i berkata bahwa rukun nikah ada lima macam, yaitu: (1) calon pengantin laki-laki, (2) calon pengantin perempuan, (3) wali, (4) dua orang saksi, (5) sigat akad nikah.[9]
C.       Jenis-jenis pernikahan
Pernikahan mempunyai banyak jenis dan cara. Dilihat dari sifatnya, jenis-jenis pernikahan terdiri dari beberapa macam, yaitu :[10]
1.      Nikah Mut’ah
 Nikah mut’ah adalah akad yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan memakai lafadz  tamattu, istimta” atau sejenisnya. Ada yang mengatakn nikah mut’ah adalah kawin kontrak dengan jangkau waktu tertentu dengan tanpa wali maupun saksi. Seluruh imam madzhab menetapkan nikah mut’ah hukumnya haram, alasnnya adalah:

Pertama: nikah mut’ah tidak sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an dan juga tidak sesuai dengan masalah yang berkaitan dengan talak, iddah, dan kewarisan. Jadi pernikahan seperti itu batal sebagaimana bentuk pernikahan lain yang dibatalkan dalam islam.
Kedua: banyak hadist dengan tegas menyebutkan haramnya nikah mut’ah. Sebagaimana dalam suatu hadist yng diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
يَا اَيُّهَا النَّاسُ إنِّي كُنْتُ اَذَنْتُ لَكُمْ فِي الْإسْتِمْتَاعِ اَلاَ وَاَنَّ الله قَدْ حَرَّمَهَا إلىَ يَوْمِ الْقِيَامَة
 Artinya: “Wahai manusia! Aku pernah mengizinkan kamu nikah mut’ah, tetapi sekarang ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat.”
Ketiga: Umar ketika menjadi khalifah berpidato dengan menyetakan keharaman nikah mut’ah ketika itu para sahabat langsung menyetujuinya, padahal mereka tidak menyetujui sesuatu yang salah, jika pernyataan Umar tentang haramnya nikah mut’ah adalah salah.
Keempat: Al-Khatthabi menyatakan bahwa nikah mut’ah telah disepakati keharamannya oleh ulama madzhab, kecuali ulama’ syi’ah imam 12 yang membolehkan perkawinan ini pada awal periodisasi munculnya islam, ketika dalil yang menasakh-nya belum turun. Dalil lain yang dijadikan alasan adalah firman Allah surat An-Nisa ayat 24.
Kelima: nikah mut’ah sekadar bertujuan pelampiasan syahwat, bukan untuk mendapatkan keturunan dan memeliharanya.

2.      Muhallil
 Muhallil disebut juga dengan istilah kawin cinta buta, yaitu seorang laki-laki mengawini perempuan yang telah ditalak tiga kali sehabis masa iddahnya kemudian menalaknya dengan maksud agar mantan suaiminya yang pertama dapat menikah dengan perempuan itu tadi. Kawin cinta buta atau muhallil ini hukumnya haram, bahkan termasuk dosa besar dan munkar yang diharamkan dan pelakunya dilaknat oleh Allah. Dalam satu hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:
لَعَنَ اللهُ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلُ لَهُ.رواه أحمد
Artinya: “Allah melaknat muhallil (kawin cinta buta) dan muhallalnya (bekas suami yang menyuruh orang menjadi muhallil). H.R. Ahmad
3.      Nikah Syighar
 Nikah syighar adalah apabila seorang lelaki menikahkan seorang perempuan dibawah kekuasaannya dengan lelaki lain, dengan syarat bahwa lelaki ini menikahkan anaknya tanpa membayar mahar. Nikah syighar bisa disebut nikah pertukaran. Sedangkan hukum nikah syighar adalah haram menurut kesepakatan ulama’. Akan tetapi mereka berselisih paham apabila terjadi pernikahan semacam itu.
 Imam Malik berpendapat bahwa pernikahan semacam itu tidak sah dan selamanya di-fasakh (dibatalkan), baik sesudah atau sebelum terjadi pergaulan (hubungan kelamin). Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Syafi’i. Hanya saja ia berpendapat bahwa jika untuk salah satu pengantin atau keduanya bersama disebutkan suatu mahar, pernikahan menjadi sah dengan mahar misil, sedangkan mahar yang telah disebutkan menjadi rusak.
4.      Nikah sirri
 Nikah sirri adalah pernikahan yang dilakukan oleh lelaki dan perempuan tanpa memberitahukan kepada orang tuanya yang berhak menjadi wali. Nikah sirri dilakukan dengan syarat yang benar menurut hukum islam. Hanya saja nikah sirri, pihak orang tua kedua belah pihak tidak diberi tahu dan keduanya tidak meminta izin atau meminta restu orang tua. Biasanya nikah sirri dilakukan untuk menghindarkan diri dari perbuatan zina.
 Hukum nikah sirri boleh, dengan syarat terpenuhi rukun dan syaratnya, sedangkan masalah orang tua pihak perempuan yang tidak menjadi walinya, terjadi perbedaan pendapat. Ada yang menegaskan bahwa wali nikah tidak wajib sebab yang wajib adalah ada orang yang menikahkan, ada saksi, dan kedua mempelai melakukannya dengan suka rela.
D.      Hikmah dan Tujuan Pernikahan
Pernikahan juga mempunyai hikmah diantaranya adalah sebagai berikut :[11]
1.      Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan keras, yang menuntut jalan keluar. Menikah merupakan jalan yang paling baik untuk menyalurkan naluri seks secara alami dan biologis. Dengan nikah badan menjadi tegar, jiwa menjadi tenang, mata dapat terpelihara dari melihat hal-hal yang maksiat, dan memiliki perasaan tenang menikmati hal-hal yang halal.
2.      Menikah adalah jalan yang terbaik untuk menjadikan anak-anak yang mulia, memperbanyakan keturunan, melestarikan hidup manusia, serta memelihara nasab yang sangat diperhatikan oleh Islam. Dalam sebuah riwayat dicaritakan bahwa suatu ketika Ahnaf bin Qais masuk ke istana Mu’awiyah, dan pada saat itu Yazid ada di sana, beliau menghadap kepadanya dengan keheranan lalu bertanya: “ Hai Abu Bahar! Bagaimana pendapatmu tentang anak-anak ? beliau menjawab “mereka adalah tulang punggung kita, buah hati kita, dan penyejuk hati kita. Merekalah anak panah penyerang musuh kita dan generasi pengganti kita.
3.      Naluri kebapaan dan keibuan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak, juga akan tambah perasaan ramah, cinta dan sayang yang menyempurnakannya kemanusiaan seseorang.
4.      Menimbulkan rasa tanggung jawab dan sikap rajin serta sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang. Disamping itu juga mengeskploitasi kekayaan alam yang dikaruniakan Allah SWT bagi kepentingan hidup manusia.
5.      Adanya pembagian tugas, yang satu mengurusi dan mengatur rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja diluar sesuai dengan batas dalam tanggung jawab sebagai suami istri. Dengan pembagian semacam ini masing-masing pasangan menunaikan tugasnya sesuai dengan keridaan Allah SWT.
6.      Menumbuhkan tali kekeluargaan dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang direstui Islam sehingga akan menjadi masyarakat yang kuat lagi bahagia.
Tujuan  pernikahan pada umumnya bergantung pada masing-masing individu yang akan melakukannya, karena lebih bersifat subjektif.  Adapun tujuan pernikahan secara rinci dapat dikemukakan sebagai berikut:[12]
1.      Melaksanakan libido seksualis
2.      Memperoleh keturunan yang saleh
3.      Memperoleh kebahagiaan dan ketenteraman
4.      Mengikuti sunnah Nabi
5.      Menjalankan perintah Allah
6.      Untuk berdakwah

 Tujuan pernikahan sejatinya dalam islam adalah pembinaan akhlak manusia dan memanusiakan manusia sehingga hubungan yang terjadi antara dua gender yang berbeda dapat membangun kehidupan baru secara sosial dan kultural.[13] Hubungan dalam bangunan tersebut adalah kehidupan rumah tangga dan terbentuknya generasi keturunan manusia yang memberikan kemaslahatan bagi masa depan masyarakat dan negara.

BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
 Pernikahan adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan makhram. Pernikahan merupakan suatu akad atau perjanjian yang mengandung arti tentang sahnya hubungan kelamin. Dalam pernikahan juga terdapat rukun-rukun yang harus dipenuhi seperti sighat akad nikah, adanya calon suami dan calon istri, adanya wali, dan dua orang saksi. Rukun merupakan syarat yang harus ada dalam pernikahan, jika salah satu rukun tidak ada maka pernikahannya batal atau tidak sah.
 Pernikahan juga mempunyai banyak macam yaitu nikah mut’ah, nikah muhallil, nikah sirri, dll. Diantara macam-macam pernikahan itu ada yang dilarang dan ada yang dianjurkan. Nikah mut’ah merupakan salah satu nikah yang diharamkan karena tidak sesuai dengan tujuan pernikahan yang sesungguhnya.
 Pernikahan juga mempunya tujuan dan hikmah diantaranya yaitu  jalan yang paling baik untuk menyalurkan naluri seks secara alami dan biologis. Dengan nikah badan menjadi tegar, jiwa menjadi tenang, mata dapat terpelihara dari melihat hal-hal yang maksiat, dan memiliki perasaan tenang menikmati hal-hal yang halal. Pernikahan juga bertujuan untuk meneruskan keturunan, Memperoleh kebahagiaan dan ketenteraman, dan termasuk mengikuti sunnah nabi.





DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Slamet dan Aminuddin. Fiqih Munakahat 1. Bandung: CV Pustaka Setia, 1999.
Saebani, Beni Ahmad. Fiqh Munakahat 1. Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Syarifuddin, Amir.  Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana, 2006.

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   


[1] Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 1, ( Bandung: Pustaka Setia, 2001 ), 10.
[2] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2006), 61-62.
[3] Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat 1 (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), 64-66.
[4] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan., 64.
[5] Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat1., 67.
[6] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan., 76-78.
[7] Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat1., 68.
[8] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan., 83.
[9] Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat1., 72.
[10] Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 1, 54.
[11] Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat 1.,36.
[12] Ibid., 12
[13] Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 1, 20.

0 komentar:

Posting Komentar

GUDANG ILMU © 2008 Template by:
SkinCorner